SEJARAH DESA SENDANG, DESA DADAP DAN DESA JUNTI
dari www.indramayutradisi.blogspot.com
SEJARAH DESA JUNTINYUAT,
JUNTIKEBON DAN JUNTIKEDOKAN
Awal mula sejarah desa Juntinyuat belum diketahui dengan pasti. Cerita yang berkembang di masyarakat mengenai awal mula Juntinyuat cenderung bersifat legenda yang bercampur dengan cerita sejarah. Diceritakan bahwa Prabu Siliwangi sebagai raja Kerajaan Pajajaran mempunyai putra Walangsungsang, Nyi Larasantang dan Raja Sengara.
Ketiga putra Prabu Siliwangi ini pada suatu saat mengadakan perjalanan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Nyi Larasantang kemudian diperistri pejabat Mesir dan mempunyai anak Syarif Hidayat dan Syarif Ngaripin. Syarif Hidayat menuntut ilmu ke Mekah dan dititahkan ke Cirebon menemui uwaknya oleh sang ibu, yang bernama Walangsungsang atau Cakrabuana. Setelah usai belajar dan berhaji di Mekah, Syarif Hidayat kemudian pergi ke Cirebon lewat jalur darat melalui Tiongkok dan menetap sementara disana.
Di Tiongkok Syarif Hidayat bekerja sementara sebagai tabib yang bisa menyembuhkan segalamacam penyakit dan sangat terkenal. Raja Tiongkok yang bernama Titongki kemudian menguji keahlian Syarif Hidayat dengan disuruh menebak perut puterinya, apakah hamil atau tidak. Padahal puteri Raja Titongki tersebut sebenarnya tidak hamil karena belum bersuami yang ada diperutnya adalah bokor kuningan. Syarif Hidayat mengatakan bahwa putri Raja Titongki mengandung. Raja Titongki marah karena tahu bahwa Syarif Hidayat salah. Syarif Hidayat kemudian akan ditangkap tetapi berhasil melarikan diri dan menuju laut.
Setelah itu putri Raja Titongki yang sebelumnya pura-pura hamil ternyata jatuh hati pada Syarif Hidayat dan kemudian menyusul ke Cirebon untuk mencari Syarif Hidayat. Raja Titongki merasa kehilangan anak, maka diutuslah beberapa punggawa di bawah pimpinan Dampu Awang membawa 2 gerobak perhiasan emas permata untuk bekal hidup sang putri ke Cirebon. Perjalanan Syarif Hidayat sampailah di Gunungjati dan bertemu dengan Syeh Datuk Qafi dan mendapat banyak ilmu tentang Islam dan juga bertemu dengan Walangsungsang sang uwak. Perjalanan putri raja Titongki pun sampai juga di jawa di pesisir Junti dan ditolong oleh Ki Ageng Junti dan diantar menemui Syarif Hidayat di Pakungwati dan menetap disana. Ki Ageng Junti mempunyai puteri yang bernama Nyi Ageng Junti dan membuat rumah di tegalan pantai Junti, disebelah selatannya ada orang berkebun, lokasi itu kemudian diberi nama Juntikebon dan disebelah baratnya terdapat kedokan air yang kemudian diperbaiki dan diperpanjang, lokasi itu kemudian diberi nama Juntikedokan. Di tepi laut ada pohon yang daunnya menyolok (nyongat) ke laut maka tempat itu dinamakan Juntinyuat.
![]() |
Pantai Glayem |
Awal mula sejarah desa Juntinyuat belum diketahui dengan pasti. Cerita yang berkembang di masyarakat mengenai awal mula Juntinyuat cenderung bersifat legenda yang bercampur dengan cerita sejarah. Diceritakan bahwa Prabu Siliwangi sebagai raja Kerajaan Pajajaran mempunyai putra Walangsungsang, Nyi Larasantang dan Raja Sengara.
Ketiga putra Prabu Siliwangi ini pada suatu saat mengadakan perjalanan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Nyi Larasantang kemudian diperistri pejabat Mesir dan mempunyai anak Syarif Hidayat dan Syarif Ngaripin. Syarif Hidayat menuntut ilmu ke Mekah dan dititahkan ke Cirebon menemui uwaknya oleh sang ibu, yang bernama Walangsungsang atau Cakrabuana. Setelah usai belajar dan berhaji di Mekah, Syarif Hidayat kemudian pergi ke Cirebon lewat jalur darat melalui Tiongkok dan menetap sementara disana.
Di Tiongkok Syarif Hidayat bekerja sementara sebagai tabib yang bisa menyembuhkan segalamacam penyakit dan sangat terkenal. Raja Tiongkok yang bernama Titongki kemudian menguji keahlian Syarif Hidayat dengan disuruh menebak perut puterinya, apakah hamil atau tidak. Padahal puteri Raja Titongki tersebut sebenarnya tidak hamil karena belum bersuami yang ada diperutnya adalah bokor kuningan. Syarif Hidayat mengatakan bahwa putri Raja Titongki mengandung. Raja Titongki marah karena tahu bahwa Syarif Hidayat salah. Syarif Hidayat kemudian akan ditangkap tetapi berhasil melarikan diri dan menuju laut.
Setelah itu putri Raja Titongki yang sebelumnya pura-pura hamil ternyata jatuh hati pada Syarif Hidayat dan kemudian menyusul ke Cirebon untuk mencari Syarif Hidayat. Raja Titongki merasa kehilangan anak, maka diutuslah beberapa punggawa di bawah pimpinan Dampu Awang membawa 2 gerobak perhiasan emas permata untuk bekal hidup sang putri ke Cirebon. Perjalanan Syarif Hidayat sampailah di Gunungjati dan bertemu dengan Syeh Datuk Qafi dan mendapat banyak ilmu tentang Islam dan juga bertemu dengan Walangsungsang sang uwak. Perjalanan putri raja Titongki pun sampai juga di jawa di pesisir Junti dan ditolong oleh Ki Ageng Junti dan diantar menemui Syarif Hidayat di Pakungwati dan menetap disana. Ki Ageng Junti mempunyai puteri yang bernama Nyi Ageng Junti dan membuat rumah di tegalan pantai Junti, disebelah selatannya ada orang berkebun, lokasi itu kemudian diberi nama Juntikebon dan disebelah baratnya terdapat kedokan air yang kemudian diperbaiki dan diperpanjang, lokasi itu kemudian diberi nama Juntikedokan. Di tepi laut ada pohon yang daunnya menyolok (nyongat) ke laut maka tempat itu dinamakan Juntinyuat.
Dampu Awang pun akhirnya mendarat di pesisir yang sama di Junti setelah sekian
lamanya mencari sang putri, di pesisir Junti Dampu Awang menanyakan kemana arah
Cirebon pada Ki Ageng Junti dan melihat puteri Ki Ageng Junti yang cantik
berkulit kuning langsat. Dampu Awang pun tertarik dan ingin mengawini Nyi Ageng
Junti. Ki Gedeng Junti merasa kurang enak jika langsung menolak lamaran Dampu
Awang karena Nyi Ageng Junti tidak menyukai Dampu Awang yang gemuk dan tidak
beragama Islam. Ki Ageng Junti membuat rencana penolakan halus dengan memberi
syarat Dampu Awang harus bisa menembus pagar pekarangan rumah Ki Ageng Junti
yang tersusun dari pohon bambu Ori selebar 1,5 m dalam waktu semalam. Dampu
Awang menyanggupinya. Ia kemudian menyebarkan berita bahwa akan mengadakan tawur
emas picis rajabrana pada penduduk desa Junti. Mendengar berita itu lalu
berbondong-bondonglah penduduk Junti menuju di depan rumah Ki Ageng Junti.
Begitu malam tiba, Dampu Awang mulai menabur recehan emas pada rumpun bambu yang
memagari pekarangan Ki Ageng Junti itu. Penduduk berebut mendapatkan emas dengan
cara menebas bambu ori tanpa tahu kenapa Dampu Awang berbuat seperti itu. Satu
demi satu rumpun bambu itu jebol. Usaha Dampu Awang berhasil, akhirnya benteng
pekarangan Ki Gedeng Junti bisa ditembus. Di mata Ki Ageng Junti, perlakuan
Dampu Awang tersebut curang. Ia dan puterinya segera melarikan diri menuju
gunung Sembung. Disuatu tempat di desa Sudimampir dalam pelariannya Nyi Ageng
Junti terjerembab ke sawah karena kakinya menyangkut padi ketan hitam dan nyaris
tertangkap. Nyi Ageng Junti meminta agar kelak warga desa Sudimampir dilarang
menanam ketan hitam. Sesampainya di gunung Sembung mereka menemui Syeh Bentong
untuk mohon perlindungan dari kecurangan Dampu Awang. Ki Ageng Junti berjanji
akan menyerahkan puterinya agar diperisteri Syeh Bentong dan Syeh Bentong
menyembunyikan Nyi Ageng Junti dipucuk pohon Gebang (ujunggebang). Pengejaran
Dampu Awang sampai di Gunung Sembung dan bertemu Syeh Bentong yang kemudian
terjadi perang mulut hingga perang fisik yang akhirnya dimenangkan Syeh Bentong.
Akhirnya Syeh Bentong memperisteri puteri Ki Ageng Junti dan menetap di desa
Ujunggebang.
SEJARAH DESA DADAP, DESA SENDANG DAN LEGENDA NYI AGENG BENDA
Sejarah desa Dadap Kecamatan
Juntinyuat dan legenda bertambah lebarnya laut disisi utara dan timur desa
tersebut juga berkaitan dengan Dampu Awang. Diceritakan bahwa setelah Dampu
Awang gagal mendapatkan Nyi Ageng Junti ia kembali ke pesisir Junti dan akan
kembali ke Cirebon dengan membawa sisa emas permata yang tinggal 1,5 gerobak
untuk diserahkan ke putri Titongki di Cirebon namun diperjalanan Dampu Awang
melihat wanita cantik rupawan yang bernama Nyi Ageng Benda. Dampu Awang meminta
Nyi Ageng Benda menjadi isterinya tapi Nyi Ageng Benda yang sebenarnya masih
memiliki suami yang sedang melaut menolaknya dengan halus untuk menghargai sang
suami yang sedang mencari nafkah walau dirinya tak tahu kapan suaminya pulang
yang tidak ada kabar beritanya, dengan memberi syarat minta dibuatkan keraton
dalam waktu semalam. Dampu Awang menyanggupi membuat keraton tersebut. Ketika
pembuatan keraton baru selesai bagian pintu gerbang, malam sudah berakhir. Dampu
Awang kecewa dan memaksa Nyi Ageng Benda menerima lamarannya tetapi Nyi Ageng
Benda tetap menolak dan lari ke utara bersembunyi dan mengharap semoga sang
suami cepat kembali dan melindunginya. Dampu awang marah dan berusaha menemukan
persembunyian Nyi Ageng Benda dengan menaburkan emas di sepanjang jalur pelarian
Nyi Ageng Benda sampai ke pesisir laut yang penuh pohon Dadap namun Nyi Ageng
Benda tidak ditemukan oleh siapapun Nyi Ageng Benda tetap dipersembunyiannya
diantara pohon Dadap dengan setia menunggu suaminya pulang. Alam menghargai
kesetiaan Nyi Ageng Benda dengan memperlebar pantai Dadap agar Nyi Ageng Benda
bisa melihat kedatangan suaminya dari laut. Dampu Awang akhirnya kembali dan
melanjutkan perjalanannya ke Cirebon.
Satu
pedati tempat permata emasnya yang sudah kosong ditinggalkannya di desa
Kerangkeng dan sampai sekarang disimpan di kantor desanya begitu juga di blok
Benda l desa Sendang, sebelah utara lapangan bola, masih ada bangunan pintu
gerbang yang belum selesai dibangun Dampu Awang itu dan masih bisa dilihat
sampai sekarang.
Sementara nama desa Sendang mungkin berasal dari sebuah kolam pemandian di taman di blok Cilantir yang sekarang sudah kena abrasi air laut dan pada tahun kemarin ditemukan disana pondasi bangunan kuno yang diperkirakan bangunan taman sendang itu walau masih misterius sampai sekarang.
Jadi jikalau ada anggapan buruk tentang wanita-wanita dari desa Dadap dan Benda yang katanya materialistik dan suka selingkuh, itu merupakan anggapan yang salah besar dan sangat keji menyakiti hati mereka, jika ada wanita seperti itu disana, itu hanya kebetulan semata karena tuntutan ekonomi dan persoalan pribadi belaka.
Begitupun tentang adanya kutukan Dampu Awang pada gadis atau bujangan yang tak mau menikah akan menjadi jomblo seumur hidup, itu tergantung subjeknya masing-masing.
Wallahu'alam bishawab.
Sementara nama desa Sendang mungkin berasal dari sebuah kolam pemandian di taman di blok Cilantir yang sekarang sudah kena abrasi air laut dan pada tahun kemarin ditemukan disana pondasi bangunan kuno yang diperkirakan bangunan taman sendang itu walau masih misterius sampai sekarang.
Jadi jikalau ada anggapan buruk tentang wanita-wanita dari desa Dadap dan Benda yang katanya materialistik dan suka selingkuh, itu merupakan anggapan yang salah besar dan sangat keji menyakiti hati mereka, jika ada wanita seperti itu disana, itu hanya kebetulan semata karena tuntutan ekonomi dan persoalan pribadi belaka.
Begitupun tentang adanya kutukan Dampu Awang pada gadis atau bujangan yang tak mau menikah akan menjadi jomblo seumur hidup, itu tergantung subjeknya masing-masing.
Wallahu'alam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar